ASAL USUL PULAU MADURA DAN SENJATA PUSAKA BANGKALAN
Diceritakan
bahwa Pulau madura ini bermula terlihat oleh pelajar-pelajar pada jaman
purbakala sebagai pulau yang terpecah-pecah sehingga merupakan bebrapa
puncak-puncak tanah yang tinggi (yang sekarang menjadi puncaknya
bukit-bukit di Madura) dan beberapa tanah datar yang rendah apabila air
laut surut kelihatan dan apabila air laut pasang tidak kelihatan (ada di
bawah air). Puncaknya-puncak yang terlihat iru diantaranya yang
sekarang disebut Gunung Geger didaerah Kabupaten Bangkalan dan
Pegunungan Pajudan di daerah Kabupaten Sumenep.
Diceritakan bahwa pada jaman purba ada suatu negara yang bernama negara Mendangkawulan yang didalamnya terdapat subuah kraton yang bernama Willing Wesi.
Rajanya bernama Sanghiangtunggal. Menurut dugaan orang, Madura
dikiranya ada disuatu tempat didekat Gunung Semeru didekat puncakala
yang bernama Gunung Bromo. Jaman tersebut kira-kira sekitar tahun 929
Masehi.
Raja
tersebut mempunyai seorang putri yang masih gadis. Pada suatu hari,
putri tersebut bermimpi kemasukan rembulan dari mulutnya terus masuk ke
dalam perutnya dan tidak keluar lagi. Setelah beberapa bulan setelah
kejadian itu, putri tesebut menjadi hamil dan tidak ketahuan siapa ayah
dari calon bayi tersebut. Beberapa kali ayahnya bertanya tentang sebab
musababnya, tapi putrinya sama sekali tidak menjawab karena iapun juga
tidak mengetahui apa yang telah terjadi pada dirinya.
Raja
tadi amat marah dan memamnggil Patihnya yang bernama Pranggulang. Patih
tersebut diperintah untuk membunuh putri tersebut dan membawa kepala
putrinya ke hadapan raja tersebut. Apabila Patih tersebut Patih tersebut
tidak sanggup memperlihatkan kepala putrinya itu maka Patih tidak
diperkenankan menghadap raja dan tidak dianggap lagi sebagai Patih
dikerajaannya.
Maka
berangkatlah Patih dengan membawa sang Putri keluar dari Kraton menuju
hutan rimba. Setelah sampai disuatu tempat didalam hutan belantara, maka
Patih menghunus pedangnya dan mulai memegang leher Putri tersebut, akan
tetapi hampir pedang tersebut sampai ke lehernya pedang tersebut
terjatuh ketanah. Setelah kejadian tersebut sang Patih termenung dan
berpikir bahwa hamilnya Putri tersebut tentu bukan dari kesalahannya,
tetapi tentu ada hal yang luar biasa dan akhirnya Patih Pranggulang
mengalah untuk tidak kembali ke rajanya dan mulai saat itu ia berubah
nama menjadi Kijahi polengí (Poleng artinya dalam Bahasa Madura
yakni kain tenunan Madura) dan ia merubah pakaian yaitu memakai kain,
baju dan ikat kepala dari kain poleng. Ia memotong kayu-kayu untuk
dijadikan perahu (oleh orang Madura dinamakan Ghitek atau orang Jawa
bilang Getek).
Sebelum
Putri tadi diberangkatkan, Kijahi Poleng memberikan beberapa bekal
berupa buah-buahan serta berpesan bahwa jika sang Putri memerlukan
pertolongannya supaya sang Putri menghentakkan kakinya ketanah sebanyak 3
kali maka seketika itu Kijahi Poleng datang untuk menolongnya.
Putri
tersebut oleh Kijahi Poleng didudukkan diatas ghitek itu yang kemudian
ditendangnya Ghitek tersebut menuju "Madu Oro" (pojok di ara-ara)
artinya pojok menuju ke arah yang luas. Diceritakan bahwa sebab inilah
Pulau ini bernama Madura. Ada juga yang mengatakan bahwa nama Madura itu
dari perkataan "Lemah Dhuro" artinya tanah yang tidak sesungguhnya
yaitu apabila air laut pasang tanahnya tidak kelihatan, apabila air laut
surut maka tanah akan kelihatan.
Singkat
cerita Ghitek tersebut terdampar di Gunung Geger (disitu asalnya tanah
Madura) dan memang menurut Babad-babad apabila ada yang tertulis
perkataan tanah Madura, maka yang dimaksudkan adalah Kabupaten Bangkalan
juga termasuk Kabupaten Sampang, sedangkan apabila ada yang menyebutkan
daerah-daerah disebelah Timur dari daerah-daerah tersebut maka
dimaksudkan adalah Kabupaten Sumenep atau Sumekar atau Sumanap dan
dituliskannya Pamekasan.
Pada
suati ketika perut sang Putri mulai terasa sakit seolah akan menemui
ajalnya, disitu ia menghentakkan kakinya ketanah 3 kali guna meminta
pertolongan Kijahi Poleng. Maka seketika itu Kijahi Poleng datang dan
iapun bila bahwa sang Putri akan segera melahirkan. Tidak lama kemudian
lahirlah seorang anak laki-laki yang roman mukanya amat bagus yang
kemudian diberi nama "Raden Segoro" (Segoro artinya lautan). Keluarga
itu menjadi penduduk pertama di Madura. Setelah itu Kijahi Poleng
menghilang lagi, tetapi ia sering datang mengunjungi sang Putri dengan
membawa makanan atau buah-buahan.
Diceritakan
bahwa perahu-perahu orang dagang yang berlayar dari beberapa kepulauan
di Indonesia apabila pada waktu malam hari melalui lautan dekat
tempatnya Raden Segoro tersebut, maka mereka melihat cahaya yang terang
seolah-olah cahaya rembulan, maka merekaakan berhenti untuk berlabuh
ditempat itu (Geger Madura) dan akan membuat selamatan makan minum
disitu serta memberi hadiah kepada yang bersahaja itu.
Setelah
berumur dua tahun Raden Segoro sering bermain-main di tepi lautan, dan
pada suatu hari dari arah lautan datanglah dua ekor naga yang amat
besarnya mendekatinya. Dengan ketakutan, maka Raden Segoro berlari
sambil menangis dan menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Merasa
khawatir takut anaknya dimakan ular naga tersebut, maka ibunya
memanggil Kijahi Poleng. Dan seketika itu Kijahi Poleng datang menemui
si Ibu, maka si ibu menceritakan kejadian yang menimpa putranya
tersebut. Kemudian kijahi Poleng mengajak Raden Segoro bermain-main di
tepi laut. Tidak beberapa lama datanglah dua ekor naga raksasa itu, lalu
Kijahi Poleng menyuruh Raden Segoro agar memegang ekor ular dan
membantingkannya ke tanah. Raden Segoro menolak permintaan Kijahi
Poleng, tetapi karena paksaan tersebut akhirnya Raden Segoro memenuhi
permintaa tersebut. Kemusian dipegangnya dua ekor naga raksasa tersebut
dan dibantingkannya ke tanah. Seketika itu juga dua ekor ular naga
raksasa tersebut burubah menjadi dua bilah tombak. Kedua bilah tombak
tersebut kemudian diberikan kepada Kijahi Poleng untuk dibawa menghadap
ibunya raden Segoro. Tombak satunya diberi nama "Kijahi (si) Nenggolo"
dan satunya diberi nama "Kijahi (si) Aluquro"
Pada
usia 7 tahun Raden Segoro pindah dari Gunung Geger ke Desa Nepa. Nama
Nepa itu karena disitu banyak sekali pohon Nepa. Pohon nepa
auat Bhunyok yaitu pohon sejenis kelapa tapi lebih kecil dan tidak
besar seperti halnya pohon kelapa, daunnya dapat dibuat atap tumah, yang
masih muda dapat dibuat rokok (seperti Klobot). Desa tersebut letaknya
berada di daerah Ketapang Kabupaten Sampang dipantai sebelah Utara (Java
Zee) dan hingga sekarang masih banyak keranya.
Pada
suatu ketika, Negara Mendangkawulan kedatangan musuh dari Tjina.
Didalam peperangan tersebut Raja Mendangkawulan berkali-kali kalah
sehingga rakyatnya hampir habis dibunuh oleh musuh. Didalam keadaan
bingung dan susah tersebut, suatu malam Raja Mendangkawulan bermimpi
bertemu dengan orang tua
yang berkata bahwa di sebelah pojok Barat Daya dari Kraton tersebut
ada Pulau bernama Madu Oro (Lemah Dhuro) atau Madura. Disitu berdiam
seorang anak muda bernama Raden Segoro. Raja disuruhnya untuk meminta
pertolongan kepada Raden Segoro apabila ingin memenangkan peperangan.
Keesokan
harinya Raja memerintahkan Pepatihnya supaya membawa beberapa prajurit
ke Madura sesuai dengan Mimpinya tersebut. Sesampianya di Madura,
Pepatih langsung menemui Raden Segoro dan menceritakan tentang kejadian
yang menimpa kerajaannya serta meminta pertolongan Raden Segoro untuk
membantunya. Dan juga meminta ijin kepada ibunya agar ibunya mengijinkan
putranya untuk membantunya. Si ibu memanggil Kijahi poleng untuk
mendampingi Raden Segoro guna membantu peperangan raja itu dari serangan
musuh (Tjina). Kemudian berangkatlah Raden Segoro, Kijahi Poleng serta
Pepatih dan prajuritnya menuju Kraton Mendangkawulan dengan membawa
pusaka tombak Kijahi Nenggolo.
Kijahi
Poleng ikut serta akan tetapi tidak kelihatan oleh yang lain kecuali
Raden Segoro. Dan sesampainya di negara tersebut, Raden Segoro langsung
berperang dengan tentara Tjina dengan didampingi oleh Kijahi Poleng.
Pusaka Kijahi Nenggolo hanya ditujukan kearah tempat sarang-sarang musuh
maka banyak musuh yang mati karena mendadak menderita sakit dan tidak lama kemudian semua musuh lari meninggalkan negara Mendangkawulan.
Raja
Mendangkawulan mengadakan pesta besar untuk merayakan kemenangan perang
dan memberi penghormatan besar kepada Raden Segoro serta memberi gelar
"Raden Segoro alias Tumenggung Gemet" yang artinya semua musuh apabila
bertarung dengannya maka akan habis (Gemet = Bahasa Djawa)
Raden
Segoro berhajat untuk mengambil anak mantu kepada Tumenggung Gemet dan
menghantarkan dia (suruhan Pepatih dan tentara kehormatan) dengan
disertai surat terima kasih kepada ibunya. Raja
menanyakan siapa ayahnya, maka Raden Segoro akan menanyakan kepada
ibunya nanti. Kemudian Raden Segoro mohon ijin kepada Raja
Mendangkawulan untuk kembali ke Madura.
Setelah
sampai, maka Raden Segoro kembali menanyakan perihal ayahnya kepada
ibunya. Ibunya merasa kebingungan dan menjawabnya bahwa ayahnya adalah
seorang siluman. Maka seketika itu pula lenyaplah ibu dan anaknya serta
rumahnya yang disebut kengan sebutan Kraton Nepa.
Demikian
riwayat asal usul tanah Madura, yang oleh orang tua-tua dikesankan
bahwa Raden Segoro telah membalas hutang-hutangnya yang menghinakan
ibunya dengan pembalasan yang baik yaitu menolong didalam peperangan.
Diceritakan
pula bahwa dikemudian hari Kijahi Nenggolo dan Kijahi Aluquro oleh
Raden Segoro diberikan kepada Pangeran Demong Plakaran (Kijahi Demong)
Bupati Arosbaya (Bangkalan). Dan mulai saat itu kedua bilah tombak
tersebut (Kijahi Nenggolo dan Kijahi Aluquro) menjadi Senjata pusaka
Bangkalan.
Diceritakan
bahwa Pulau madura ini bermula terlihat oleh pelajar-pelajar pada jaman
purbakala sebagai pulau yang terpecah-pecah sehingga merupakan bebrapa
puncak-puncak tanah yang tinggi (yang sekarang menjadi puncaknya
bukit-bukit di Madura) dan beberapa tanah datar yang rendah apabila air
laut surut kelihatan dan apabila air laut pasang tidak kelihatan (ada di
bawah air). Puncaknya-puncak yang terlihat iru diantaranya yang
sekarang disebut Gunung Geger didaerah Kabupaten Bangkalan dan
Pegunungan Pajudan di daerah Kabupaten Sumenep.
Diceritakan bahwa pada jaman purba ada suatu negara yang bernama negara Mendangkawulan yang didalamnya terdapat subuah kraton yang bernama Willing Wesi.
Rajanya bernama Sanghiangtunggal. Menurut dugaan orang, Madura
dikiranya ada disuatu tempat didekat Gunung Semeru didekat puncakala
yang bernama Gunung Bromo. Jaman tersebut kira-kira sekitar tahun 929
Masehi.
Raja
tersebut mempunyai seorang putri yang masih gadis. Pada suatu hari,
putri tersebut bermimpi kemasukan rembulan dari mulutnya terus masuk ke
dalam perutnya dan tidak keluar lagi. Setelah beberapa bulan setelah
kejadian itu, putri tesebut menjadi hamil dan tidak ketahuan siapa ayah
dari calon bayi tersebut. Beberapa kali ayahnya bertanya tentang sebab
musababnya, tapi putrinya sama sekali tidak menjawab karena iapun juga
tidak mengetahui apa yang telah terjadi pada dirinya.
Raja
tadi amat marah dan memamnggil Patihnya yang bernama Pranggulang. Patih
tersebut diperintah untuk membunuh putri tersebut dan membawa kepala
putrinya ke hadapan raja tersebut. Apabila Patih tersebut Patih tersebut
tidak sanggup memperlihatkan kepala putrinya itu maka Patih tidak
diperkenankan menghadap raja dan tidak dianggap lagi sebagai Patih
dikerajaannya.
Maka
berangkatlah Patih dengan membawa sang Putri keluar dari Kraton menuju
hutan rimba. Setelah sampai disuatu tempat didalam hutan belantara, maka
Patih menghunus pedangnya dan mulai memegang leher Putri tersebut, akan
tetapi hampir pedang tersebut sampai ke lehernya pedang tersebut
terjatuh ketanah. Setelah kejadian tersebut sang Patih termenung dan
berpikir bahwa hamilnya Putri tersebut tentu bukan dari kesalahannya,
tetapi tentu ada hal yang luar biasa dan akhirnya Patih Pranggulang
mengalah untuk tidak kembali ke rajanya dan mulai saat itu ia berubah
nama menjadi Kijahi polengí (Poleng artinya dalam Bahasa Madura
yakni kain tenunan Madura) dan ia merubah pakaian yaitu memakai kain,
baju dan ikat kepala dari kain poleng. Ia memotong kayu-kayu untuk
dijadikan perahu (oleh orang Madura dinamakan Ghitek atau orang Jawa
bilang Getek).
Sebelum
Putri tadi diberangkatkan, Kijahi Poleng memberikan beberapa bekal
berupa buah-buahan serta berpesan bahwa jika sang Putri memerlukan
pertolongannya supaya sang Putri menghentakkan kakinya ketanah sebanyak 3
kali maka seketika itu Kijahi Poleng datang untuk menolongnya.
Putri
tersebut oleh Kijahi Poleng didudukkan diatas ghitek itu yang kemudian
ditendangnya Ghitek tersebut menuju "Madu Oro" (pojok di ara-ara)
artinya pojok menuju ke arah yang luas. Diceritakan bahwa sebab inilah
Pulau ini bernama Madura. Ada juga yang mengatakan bahwa nama Madura itu
dari perkataan "Lemah Dhuro" artinya tanah yang tidak sesungguhnya
yaitu apabila air laut pasang tanahnya tidak kelihatan, apabila air laut
surut maka tanah akan kelihatan.
Singkat
cerita Ghitek tersebut terdampar di Gunung Geger (disitu asalnya tanah
Madura) dan memang menurut Babad-babad apabila ada yang tertulis
perkataan tanah Madura, maka yang dimaksudkan adalah Kabupaten Bangkalan
juga termasuk Kabupaten Sampang, sedangkan apabila ada yang menyebutkan
daerah-daerah disebelah Timur dari daerah-daerah tersebut maka
dimaksudkan adalah Kabupaten Sumenep atau Sumekar atau Sumanap dan
dituliskannya Pamekasan.
Pada
suati ketika perut sang Putri mulai terasa sakit seolah akan menemui
ajalnya, disitu ia menghentakkan kakinya ketanah 3 kali guna meminta
pertolongan Kijahi Poleng. Maka seketika itu Kijahi Poleng datang dan
iapun bila bahwa sang Putri akan segera melahirkan. Tidak lama kemudian
lahirlah seorang anak laki-laki yang roman mukanya amat bagus yang
kemudian diberi nama "Raden Segoro" (Segoro artinya lautan). Keluarga
itu menjadi penduduk pertama di Madura. Setelah itu Kijahi Poleng
menghilang lagi, tetapi ia sering datang mengunjungi sang Putri dengan
membawa makanan atau buah-buahan.
Diceritakan
bahwa perahu-perahu orang dagang yang berlayar dari beberapa kepulauan
di Indonesia apabila pada waktu malam hari melalui lautan dekat
tempatnya Raden Segoro tersebut, maka mereka melihat cahaya yang terang
seolah-olah cahaya rembulan, maka merekaakan berhenti untuk berlabuh
ditempat itu (Geger Madura) dan akan membuat selamatan makan minum
disitu serta memberi hadiah kepada yang bersahaja itu.
Setelah
berumur dua tahun Raden Segoro sering bermain-main di tepi lautan, dan
pada suatu hari dari arah lautan datanglah dua ekor naga yang amat
besarnya mendekatinya. Dengan ketakutan, maka Raden Segoro berlari
sambil menangis dan menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Merasa
khawatir takut anaknya dimakan ular naga tersebut, maka ibunya
memanggil Kijahi Poleng. Dan seketika itu Kijahi Poleng datang menemui
si Ibu, maka si ibu menceritakan kejadian yang menimpa putranya
tersebut. Kemudian kijahi Poleng mengajak Raden Segoro bermain-main di
tepi laut. Tidak beberapa lama datanglah dua ekor naga raksasa itu, lalu
Kijahi Poleng menyuruh Raden Segoro agar memegang ekor ular dan
membantingkannya ke tanah. Raden Segoro menolak permintaan Kijahi
Poleng, tetapi karena paksaan tersebut akhirnya Raden Segoro memenuhi
permintaa tersebut. Kemusian dipegangnya dua ekor naga raksasa tersebut
dan dibantingkannya ke tanah. Seketika itu juga dua ekor ular naga
raksasa tersebut burubah menjadi dua bilah tombak. Kedua bilah tombak
tersebut kemudian diberikan kepada Kijahi Poleng untuk dibawa menghadap
ibunya raden Segoro. Tombak satunya diberi nama "Kijahi (si) Nenggolo"
dan satunya diberi nama "Kijahi (si) Aluquro"
Pada
usia 7 tahun Raden Segoro pindah dari Gunung Geger ke Desa Nepa. Nama
Nepa itu karena disitu banyak sekali pohon Nepa. Pohon nepa
auat Bhunyok yaitu pohon sejenis kelapa tapi lebih kecil dan tidak
besar seperti halnya pohon kelapa, daunnya dapat dibuat atap tumah, yang
masih muda dapat dibuat rokok (seperti Klobot). Desa tersebut letaknya
berada di daerah Ketapang Kabupaten Sampang dipantai sebelah Utara (Java
Zee) dan hingga sekarang masih banyak keranya.
Pada
suatu ketika, Negara Mendangkawulan kedatangan musuh dari Tjina.
Didalam peperangan tersebut Raja Mendangkawulan berkali-kali kalah
sehingga rakyatnya hampir habis dibunuh oleh musuh. Didalam keadaan
bingung dan susah tersebut, suatu malam Raja Mendangkawulan bermimpi
bertemu dengan orang tua
yang berkata bahwa di sebelah pojok Barat Daya dari Kraton tersebut
ada Pulau bernama Madu Oro (Lemah Dhuro) atau Madura. Disitu berdiam
seorang anak muda bernama Raden Segoro. Raja disuruhnya untuk meminta
pertolongan kepada Raden Segoro apabila ingin memenangkan peperangan.
Keesokan
harinya Raja memerintahkan Pepatihnya supaya membawa beberapa prajurit
ke Madura sesuai dengan Mimpinya tersebut. Sesampianya di Madura,
Pepatih langsung menemui Raden Segoro dan menceritakan tentang kejadian
yang menimpa kerajaannya serta meminta pertolongan Raden Segoro untuk
membantunya. Dan juga meminta ijin kepada ibunya agar ibunya mengijinkan
putranya untuk membantunya. Si ibu memanggil Kijahi poleng untuk
mendampingi Raden Segoro guna membantu peperangan raja itu dari serangan
musuh (Tjina). Kemudian berangkatlah Raden Segoro, Kijahi Poleng serta
Pepatih dan prajuritnya menuju Kraton Mendangkawulan dengan membawa
pusaka tombak Kijahi Nenggolo.
Kijahi
Poleng ikut serta akan tetapi tidak kelihatan oleh yang lain kecuali
Raden Segoro. Dan sesampainya di negara tersebut, Raden Segoro langsung
berperang dengan tentara Tjina dengan didampingi oleh Kijahi Poleng.
Pusaka Kijahi Nenggolo hanya ditujukan kearah tempat sarang-sarang musuh
maka banyak musuh yang mati karena mendadak menderita sakit dan tidak lama kemudian semua musuh lari meninggalkan negara Mendangkawulan.
Raja
Mendangkawulan mengadakan pesta besar untuk merayakan kemenangan perang
dan memberi penghormatan besar kepada Raden Segoro serta memberi gelar
"Raden Segoro alias Tumenggung Gemet" yang artinya semua musuh apabila
bertarung dengannya maka akan habis (Gemet = Bahasa Djawa)
Raden
Segoro berhajat untuk mengambil anak mantu kepada Tumenggung Gemet dan
menghantarkan dia (suruhan Pepatih dan tentara kehormatan) dengan
disertai surat terima kasih kepada ibunya. Raja
menanyakan siapa ayahnya, maka Raden Segoro akan menanyakan kepada
ibunya nanti. Kemudian Raden Segoro mohon ijin kepada Raja
Mendangkawulan untuk kembali ke Madura.
Setelah
sampai, maka Raden Segoro kembali menanyakan perihal ayahnya kepada
ibunya. Ibunya merasa kebingungan dan menjawabnya bahwa ayahnya adalah
seorang siluman. Maka seketika itu pula lenyaplah ibu dan anaknya serta
rumahnya yang disebut kengan sebutan Kraton Nepa.
Demikian
riwayat asal usul tanah Madura, yang oleh orang tua-tua dikesankan
bahwa Raden Segoro telah membalas hutang-hutangnya yang menghinakan
ibunya dengan pembalasan yang baik yaitu menolong didalam peperangan.
Diceritakan
pula bahwa dikemudian hari Kijahi Nenggolo dan Kijahi Aluquro oleh
Raden Segoro diberikan kepada Pangeran Demong Plakaran (Kijahi Demong)
Bupati Arosbaya (Bangkalan). Dan mulai saat itu kedua bilah tombak
tersebut (Kijahi Nenggolo dan Kijahi Aluquro) menjadi Senjata pusaka
Bangkalan.
0 komentar:
Posting Komentar